I.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Selaras dengan tuntutan kompetensi yang
harus dimiliki guru (kompetensi pedagogik,kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial dan kompetensi profesi), pengembangan bahan ajar (materi pembelajaran)
dan media merupakan salah satu kewajiban yang diemban guru untuk mengembangkan
kompetensi yang dimiliki, pada gilirannya dapat meningkatkan eksistensinya
sebagai guru yang profesional. Pemilihan
bahan ajar dan media pembelajaran terkait erat dengan pengembangan silabus,
yang di dalamnya terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar, materi
pokok, pengalaman belajar, metoda, evaluasi dan sumber. Selaras dengan
pengembangan silabus maka materi pembelajaran yang akan dikembangkan sudah
semestinya tetap memperhatikan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi
dasar, kesesuaian dengan materi pokok yang diajarkan, mendukung pengalaman
belajar, ketepatan metoda dan media pembelajaran, dan sesuai dengan indikator
untuk mengembangkan asesmen.
Pengembangan suatu bahan ajar harus didasarkan pada analisis
kebutuhan siswa. Terdapat sejumlah alasan mengapa perlu dilakukan pengembangan
bahan ajar, seperti yang disebutkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Atas (2008: 8-9) sebagai berikut.
1. Ketersediaan
bahan sesuai tuntutan kurikulum, artinya bahan belajar yang dikembangkan harus
sesuai dengan kurikulum
2. Karakteristik
sasaran, artinya bahan ajar yang dikembangkan dapat disesuaikan dengan
karakteristik siswa sebagai sasaran, karakteristik tersebut meliputi lingkungan
sosial, budaya, geografis maupun tahapan perkembangan siswa
3. Pengembangan
bahan ajar harus dapat menjawab atau memecahkan masalah atau kesulitan dalam
belajar.
Dengan demikian, pengembangan bahan ajar di sekolah perlu
memperhatikan karakteristik siswa dan kebutuhan siswa sesuai kurikulum, yaitu
menuntut adanya partisipasi dan aktivasi siswa lebih banyak dalam pembelajaran.
Menurut Sungkono (2003: 2), bahan ajar dapat diartikan bahan-bahan atau materi
pelajaran yang disusun secara lengkap dan sistematis berdasarkan prinsipprinsip
pembelajaran yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Bahan
ajar bersifat sistematis artinya disusun secara urut sehingga memudahkan siswa
belajar. Di samping itu bahan ajar juga bersifat unik dan spesifik. Unik
maksudnya bahan ajar hanya digunakan untuk sasaran tertentu dan dalam proses
pembelajaran tertentu, dan spesifik artinya isi bahan ajar dirancang sedemikian
rupa hanya untuk mencapai kompetensi tertentu dari sasaran tertentu. Salah satu
alternatif bahan ajar yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam
pembelajaran adalah Lembar Kerja Siswa (LKS). Dengan menggunakan LKS diharapkan
siswa benar-benar aktif dan mandiri sehingga dapat menyerap dan mengingat lebih
lama terhadap apa yang dipelajarinya. LKS memuat hal-hal yang perlu diketahui
siswa dari pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang harus dipecahkan
oleh siswa. LKS juga dapat memberikan kesempatan penuh kepada siswa untuk
mengungkapkan kemampuan dan keterampilan untuk berbuat sendiri dalam
mengembangkan proses berpikirnya melalui mencari, menebak, bahkan menalar
(Suhadi, 2007: 4).
Pada
masa sekarang ini dimana kurikulum 2013 telah diterapkan di setiap jenjang
pendidikan guru dituntut dapat mewujudkan suasana belajar yang demokratif,
kreatif, dan inovatif dalam pembelajaran di sekolah, yaitu suasana belajar yang
melibatkan siswa secara aktif baik sebagai subjek maupun sebagai objek belajar
sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah
sesuai dengan bakat dan potensi yang ada pada dirinya serta secara langsung dan
tidak langsung guru dapat meningkatkan mutu pembelajaran. Namun faktanya, masih banyak guru belum
sepenuhnya dapat merealisasikan suasana belajar yang demokratis, kreatif dan
inovatif. Penyebab utamanya adalah guru
belum mampu untuk menemukan metode atau teknik mengajar yang tepat sehingga
pembelajaran menjadi monoton dan cenderung membosankan. Dominasi guru yang terlalu kuat juga membuat
kreativitas siswa kurang berkembang selain materi pelajaran matematika yang
terkenal abstrak. Apabila hal ini
dibiarkan secara terus-menerus bukan hal yang mustahil akan menyebabkan mutu
pembelajaran menurun sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan tidak akan
pernah terwujud secara optimal dan tentu akan berakibat pada hasil belajar dan
tingkat kecanggihan berfikir siswa.
Metode penemuan merupakan suatu cara penyampaian topik-topik
matematika, sedemikian hingga proses belajar memungkinkan siswa menemukan
sendiri pola-pola atau struktur-struktur matematika melalui serentetan
pengalaman-pengalaman belajar yang lampau. Keterangan-keterangan yang harus
dipelajari ini tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa diwajibkan melakukan aktivitas
mental sebelum keterangan yang dipelajari itu dapat dipahami
Bruner
mengungkapkan metode mengajar dengan discovery ini. Ia ingin memperbaiki
pengajaran yang selama ini hanya mengarah kepada menghafal fakta-fakta saja,
tidak memberikan kepada murid pengertian tentang konsep-konsep atau
prinsip-prinsip yang terdapat di dalam pengajaran.
Carin
dan Sund menyatakan bahwa “pembelajaran penemuan dibedakan menjadi tiga yaitu:
eksposisi (eksposition) penemuan terbimbing (geided discovery), dan explorasi
atau (explorasi of free discovery)”
Dalam
metode ini siswa dikehendaki terlibat aktif didalam proses belajarnya. Secara
murni, siswa benar-benar sebagai “penemu” yang aktif menemukan berdasarkan
pandanganya sendiri sedangkan gurunya hanya sebagai pengawas bahkan tidak
membimbing sama sekali. Fungsi guru disini bukan untuk menyelesaikan masalah
bagi siswa-siswanya melainkan siswa-siswa harus mampu menyelesaikan sendiri
masalahnya
Dari
data awal yang diperoleh Pada SMAN 4 Metro masih ditemui beberapa permasalahan
diantaranya hasil belajar siswa sebelumnya pada pokok bahasan Aturan Pencacahan
masih tergolong rendah. Terdapat 65 % siswa yang baru benar-benar dinyatakan
tuntas belajar sisanya tuntas dengan remedial,hal ini berarti bahwa
keberhasilan siswa pada ranah kognitif belum memenuhi ketuntasan secara
klasikal yaitu 75%.
Berdasarkan
pada uraian diatas peneliti berasumsi bahwa pengembangan bahan ajar dengan
menggunakan metode penemuan terbimbing akan dapat menjadi solusi alternatif
untuk menyelesaikan masalah yang di alami siswa di atas, oleh karena itu
penulis melakukan pengembangan terhadap bahan ajar yaitu Pengembangan Bahan
Ajar Matematika Pada Materi Aturan Pencacahan Dengan Metode Penemuan Terbimbing
Siswa SMAN 4 Metro Kelas XI IPS Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah
mengembangkan bahan ajar matematika pada Materi Aturan Pencacahan Dengan Metode
Penemuan Terbimbing Siswa SMAN 4 Metro Kelas XI IPS Semester Genap Tahun
Pelajaran 2014/2015.
2. Bagaimanakah
respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan bahan ajar matematika
materi aturan pencacahan yang dikembangkan dengan metode penemuan terbimbing
ini.
3. Bagaimanakah
pelaksanaan model pembelajaran penemuan terbimbing ini?
D.
Tujuan Peneniltian
Tujuan
penelitian ini adalah :
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah :
1. Mendeskripsikan
kualitas bahan ajar matematika materi aturan pencacahan yang dikembangkan dengan metode penemuan
terbimbing untuk siswa SMA kelas XI semester 2 dilihat dari kriteria validitas
dan efektivitas.
2. Mendeskripsikan
respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan bahan ajar matematika
materi aturan pencacahan dengan metode penemuan terbimbing untuk siswa SMA
kelas XI semester 2.
A. Pembatasan
Masalah
1. Pengembangan yang dimaksud adalah pengembangan bahan
ajar dengan menggunakan model 3-D yang merupakan
modifikasi dari model 4-D Model dari Thiagarajan. Secara singkat, tahapan dalam
penelitian ini adalah Define (Pendefinisian), Design (Perancangan),
dan Develop (Pengembangan)
2. Bahan
ajar yang dikembangkan disini meliputi modul dan LKS menggunakan model penemuan
terbimbing
3. Cakupan
materi yang dikembangkan adalah aturan pencacahan yang terdapat dalam standar
isi kurikulum 2013 pada semester genap.
B. Manfaat
Penelitian
Bagi Siswa
1. Membantu
siswa dalam memahami materi pelajaran, terutama materi aturan pencacahan
2. Menambah
referensi bahan ajar yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
Bagi
Guru
1.
Menambah pengalaman
guru dalam menggunakan bahan ajar dengan metode penemuan terbimbing.
2.
Memacu guru untuk
dapat mengembangkan bahan ajar secara mandiri.
Bagi Sekolah
1.
Menjadi bahan acuan untuk melaksanakan pembelajharan di sekolah
2.
Menambah referensi bagi bahan bacaan yang ada di sekolah
II.
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
1.
Pengertian pembelajaran
Pembelajaran
adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan oleh guru guna
membelajarkan siswa (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 43). E. Suherman (2003: 8)
mengartikan pembelajaran sebagai upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa
agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Menurut
Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 (Benny Susetyo, 2005: 167) pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Peserta didik yang dimaksud adalah siswa dan pendidik
adalah guru. Menurut Sugihartono (2007: 81), pembelajaran adalah suatu upaya
yang dilakukan oleh guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisir,
dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat
melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil yang
optimal.
Pengertian
Pembelajaran Matematika
Menurut Fontana (dalam Depdikbud,
1994: 2) menyatakan “bahwa konsep belajar sebagai proses perubahan perilaku
individu yang relative tetap sebagai hasil dari pengalaman”. Sedangkan konsep
pembelajaran merujuk pada upaya penataan lingkungan yang memberi suasana bagi
tumbuh dan perkambangan proses belajar. Jadi, bila dilihat dari individu yang
belajar, proses belajar bersifat internal dan unik, sedangkan proses
pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja dirancang dan bersifat rekayasa. Karena
pembelajaran bersifat rekayasa yakni rekayasa perilaku (Behavior Engeneering)
maka proses tersebut selalu terikat dengan tujuan. Atas dasar itu maka
terjadinya proses belajar adalah kriteria dasar dari proses pembelajaran.
Dengan kata lain proses pembelajaran dinilai berhasil bila yang belajar dapat
belajar sesuai dengan tujuan yang dirancang sebelumnya. Meskipun demikian
proses belajar sebagai suatu proses psikologis-sosial yang unik tidak selamanya
terjadi karena adanya proses pembelajaran.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah
proses interaksi antara guru dan siswa yang melibatkan pengembangan pola
berfikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar yang sengaja
diciptakan oleh guru dengan berbagai metode agar program belajar matematika
tumbuh dan berkembang secara optimal dan siswa dapat melakukan kegiatan belajar
secara efektif dan efisien.
Selain
interaksi yang baik antara guru dan siswa tersebut, faktor lain yang menentukan
keberhasilan pembelajaran matematika adalah bahan ajar yang digunakan dalam
proses pembelajaran tersebut
2.
Model Penemuan terbimbing
Pembelajaran
model penemuan terbimbing dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok.
Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan
karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan
siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum
berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa
dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari
(Markaban, 2006:15). Dalam mengembangkan bahan ajar dengan model penemuan
terbimbing maka dalam bahan ajar tersebut
harus tampak langkah-langkah model penemuan terbimbing. Menurut Markaban
(2006: 16), tahapan dalam model penemuan terbimbing adalah (1) merumuskan
masalah, (2) menyusun konjektur, (3) cek pemahaman.
Model ini selain mempunyai kelebihan juga menpunyai
kelemahan. Menurut Markaban (2006:16 –
17), kelebihan dari pendekatan penemuan terbimbing yaitu: (1) siswa dapat
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, (2) menumbuhkan sikap inquiry,
(3)mendukung kemampuan problem solving siswa, (4) materi yang dipelajari
dapat lebih dimengerti siswa. Adapun kelemahan model penemuan terbimbing yaitu:
(1) untuk materi tertentu, waktu yang dibutuhkan relatif lebih lama, (2) untuk
siswa yang kurang aktif, akan sulit mengikuti proses pembelajaran, (3) tidak
semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang
berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan model penemuan terbimbing.
3.
Bahan Ajar
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan
atau materi yang disusun secara sistematis yang digunakan untuk membantu guru
atau instruktur dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran sehingga tercipta lingkungan
atau suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar (Depdiknas, 2006:4). Menurut
Pannen bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi pelajaran yang disusun secara
sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. (Tian
Belawati 2003:1-3). Muhaimin mengungkapkan bahwa bahan ajar adalah segala
bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran. Sedangkan menurut Abdul Majid, bahan ajar adalah segala
bentuk bahan, informasi, alat dan teks yang digunakan untuk membantu
guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang
dimaksud bisa berupa tertulis maupun bahan yang tidak tertulis.
(Muhaimin:2008). Selain itu bahan ajar atau materi kurikulum (curriculum
material) adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami oleh siswa dalam
upaya mencapai tujuan kurikulum. (Abdul Majid 2007:174).
Bahan ajar merupakan informasi, alat dan
teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan
implementasi pembelajaran (KTSP-SMK, 2012:2). Sedangkan Siddiq (2008:28)
mengemukakan bahwa bahan ajar dapat dibentuk sebagai alat peraga pembelajaran,
media pembelajaran atau dalam bentuk berbagai sumber belajar. Bahan ajar dalam
bentuk media pembelajaran berfungsi sebagai perantara dalam komunikasi
pembelajaran, karena pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi
antara siswa dengan sumber pesan pembelajaran. Pesan pembelajaran yang didesain
dalam bentuk media pembelajaran akan membuat komunikasi pembelajaran menjadi
lebih efektif dan efisien. Efisiensi dan efektivitas pembelajaran diwujudkan
dalam bentuk pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang dipelajari, dan
respon siswa yang didasarkan atas pemahaman materi pelajaran yang dipelajari.
Bahan
ajar perlu dikembangkan dan diorganisasikan secara mantap dan matang agar
pembelajaran tidak melenceng dari tujuan yang hendak dicapai. Mengembangkan
bahan ajar adalah suatu aktivitas “mendesain” materi pelajaran menjadi bahan
yang siap disampaikan/digunakan dalam proses pembelajaran. Dengan bahan ajar
yang didesain baik akan mempermudah siswa dalam belajar.
Menurut
Bandono (2009), bahan ajar dikembangkan dengan tujuan:
1. Menyediakan
bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan
kebutuhan peserta didik, yakni bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan
setting atau lingkungan sosial peserta didik.
2. Membantu
peserta didik dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping buku-buku teks
yang terkadang sulit diperoleh.
3. Memudahkan
guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Dari
beberapa penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa bahan ajar adalah segala
bentuk bahan ajar yang digunakan untuk membantu guru dan siswa dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, oleh karenanya perlu
dikembangkan bahan ajar yang berkualitas yang dapat memenuhi kebutuhan guru dan
siswa yang didesain secara menarik untuk memudahkan siswa dalam memahami
materi.
III.
PROSEDUR PENGEMBANGAN
Penelitian
ini di laksanakan di SMA N 4 Metro yang terletak di Tejosari Kecamatan Metro
Timur Lampung,
Subjek
penelitian adalah kelas XI IPS1 yang terdiri dari 24 siswa. Objek penelitian
adalah bahan ajar aturan pencacahan berbasis penemuan terbimbing.
Pengembangan
lembar kerja siswa ini dilakukan dengan 3-D yang merupakan modifikasi dari
model 4-D Model dari Thiagarajan. Secara singkat, tahapan dalam penelitian ini
adalah Define (Pendefinisian), Design (Perancangan), dan Develop
(Pengembangan). Pada tahap pendefinisian dibagi menjadi lima yaitu: (1)
analisis awal-akhir, (2) analisis siswa, (3) analisis konsep, (4) analisis tugas,
dan (5) spesifikasi tujuan pembelajaran. Pada tahap perancangan dibagi menjadi
empat yaitu: (1) penyusunan tes, (2) pemilihan media, (3) pemilihan format, dan
(4) rancangan awal. Pada tahap pengembangan dibagi menjadi dua yaitu: (1)
peniliaian para ahli dan (2) uji coba lapangan. Dalam tahapan uji coba produk
dimaksudkan untuk mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
menetapkan tingkat keefektifan, kevalidan, dan kepraktisan dari produk yang
dihasilkan. Uji coba produk meliputi: (1) desain uji coba, dalam pengembangan
bahan ajar ini dilakukan validasi oleh dosen matematika, satu guru matematika
SMA dan 24 siswa SMA kelas XI IPS; (2) Subjek uji coba, subjek uji coba dalam
pengembangan bahan ajar ini adalah sebagai berikut; Subjek ahli adalah satu
dosen matematika dengan kriteria minimal telah menyelesaikan pendidikan pada
jenjang S2 dan satu guru matematika SMA dengan kriteria telah menyelesaikan
pendidikan pada jenjang S1 dan perpengalaman mengajar minimal 5 tahun. Subjek
uji coba adalah 24 siswa dengan kriteria merupakan siswa SMA kelas XI IPS; (3)
Jenis data, jenis data yang akan digunakan untuk memvalidasi bahan ajar adalah data kuantitatif dan kualitatif yang
diperoleh dari subjek validasi. Data kuantitatif merupakan data yang berupa skor
penilaian terhadap bahan ajar yang
diberikan pada saat validasi sesuai dengan kriteria penilaian pada angket yang
nantinya akan dianalisis kevalidannya. Data kualitatif merupakan data yang
berupa komentar atau saran terhadap bahan ajar dari subjek ahli dan para subjek
uji coba; (4) Instrumen pengumpulan data, instrumen yang akan digunakan dalam
pengumpulan data direncanakan adalah berupa lembar validasi, angket siswa dan
jawaban terhadap soal evaluasi; (5) Teknik analisis data. Untuk menganalisis
data kualitatif digunakan analisis kualitatif, sedangkan untuk menganalisis
data kuantitatif digunakan analisis statistik yang merupakan perhitungan
prosentase skor lembar validasi. Adapun pedoman perhitungan prosentase skor
lembar validasi sebagai berikut.
P
=
Keterangan :
P = menyatakan prosentase nilai
= menyatakan total
rata-rata skor item dari semua validator
= skor maksimum
dari semua itemn (diadaptasi dari sugiyono : 2007)
Selanjutnya pengambilan
kesimpulan dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan sebagai berikut:
Persentase
(%)
|
Kriteria
validitas
|
Keterangan
|
85 – 100
|
Sangat valid
|
Tidak
direvisi
|
70 – 84
|
Valid
|
Tidak
direvisi
|
55 – 69
|
Cukup valid
|
Tidak
direvisi
|
50 – 54
|
Kurang valid
|
Revisi
|
0 – 49
|
Tidak valid
|
Revisi
|
(diadaptasi
dari Arikunto : 2009)
Selain hasil analisis
dari lembar validasi terdapat juga teknik analisis hasil
pengerjaan bahan ajar oleh siswa
dan angket siswa. Adapun pedoman analisis sebagai berikut. (1) Hasil pengerjaan
evaluasi oleh siswa. Jika minimal 18 dari 24 siswa yang menjadi subyek uji coba
hasil tesnya memenuhi standar ketuntasan belajar, yaitu lebih dari atau sama
dengan 75 % dari nilai tertinggi, maka dapat disimpulkan bahwa siswa menguasai
materi. (2) Angket siswa. Jika lebih dari 50 % memberikan tangggapan sama maka
hal ini dijadikan dasar untuk melakukan revisi.
No comments:
Post a Comment