Matematika pada Awal Peradaban Manusia I - Hardy Math

Thursday, September 26, 2013

Matematika pada Awal Peradaban Manusia I



Papirus Rhind
Papirus Matematika Mesir Kuno
Selain ilmu astronomi, matematika merupakan ilmu sains eksak tertua dan paling diminati oleh manusia dari generasi ke generasi. Bangsa Yunani mengungkapkan gagasan-gagasan tentang dari mana matematika berasal. Salah satunya adalah Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Metaphysics: "Sains-sains matematis berasal dari kawasan mesir, karena di sana kaum yang sekelas pendeta memiliki waktu luang yang cukup.”  Hal ini disebabkan sebagian besar perkembangan luar biasa dari matematika telah berlangsung bersamaan dengan keberadaan kaum sekelas pendeta tersebut yang mencurahkan waktunya untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Pandangan yang lebih biasa menyebutkan bahwa ma
tematika muncul karena adanya kebutuhan-kebutuhan praktis. Peradaban Mesir membutuhkan aritmetika sederhana untuk melakukan transaksi dalam kegiatan berdagang mereka sehari-hari dan pemerintah membutuhkannya untuk menentukan pungutan pajak bagi para penduduknya, untuk menghitung bunga pinjaman, untuk menghitung besarnya gaji, dan untuk menyusun kalender kerja. Hukum-hukum geometris sederhana digunakan untuk menentukan batas-batas lading dan daya tampung lumbung mereka. Jika Herodotus menyebut Mesir sebagai berkah Sungai Nil maka kita dapat menyebut geometri sebagai berkahnya yang kedua. Karena banjir tahunan yang selalu terjadi di Lembah Nil maka diperlukan aturan perpajakan untuk menentukan berapa besar tanah yang bertambah atau berkurang. Ini adalah pandangan seorang pengamat ahli asal Yunani bernama Proclus (410-485 S.M.), yang karyanya berjudul Pandangan terhadap Buku Kesatu Elemen Euclid (Commentary on the First Book of Euclid’s Elements) menjadi sumber informasi yang sangat penting bagi kita berkenaan dengan geometri pra-Euclid:

Menurut sebagian besar catatan sejarah, geometri adalah ilmu yang pertama ditemukan di antara bangsa Mesir dan berasal dari pengukuran luas tanah mereka. Hal ini penting bagi mereka karena Sungai Nil meluap dan menghapus batas-batas antara tanah-tanah milik mereka.

Kebanyakan ahli sejarah mencatat dimulainya penemuan kembali sejarah kuno bangsa Mesir Kuno adalah pada saat berlangsungnya invasi Napoleon Bonaparte pada tahun 1798. Napoleon bersama pasukan ekspedisinya membawa serta satu komisi ilmu pengetahuan dan seni, yang beranggotakan 167 orang ilmuwan terpilih termasuk dua matematikawan Gaspard Monge dan Jean-Baptiste Fourier-yang bertugas mengumpulkan berbagai informasi dengan meneliti tiap aspek kehidupan bangsa Mesir pada masa-masa kuno dan zaman modern. Rencana utama dari aktivitas tersebut adalah untuk memperkaya khasanah pengetahuan dunia tentang Mesir sambil mendinginkan keadaan akibat serangan militer Perancis dengan cara mengalihkan perhatian mereka pada kehebatan budaya Mesir.

Karya yang dihasilkan adalah Description de l’Egypte. Karya ini ditulis dalam 9 seri teks folio dan 12 seri teks lempengan, yang diterbitkan selama lebih dari 25 tahun. Teks itu dibagi menjadi empat bagian yang secara berturutan membahas tentang peradaban Mesir Kuno, monument-monumen yang mereka bangun, Mesir modern, dan sejarah alamnya, catatannya begitu lengkap, akurat, cepat dan dibuat pada kondisi-kondisi yang begitu sulit, kemewahan dan ilustrasinya yang luar biasa bagus, mendorong kekayaan pengetahuan dan budaya Mesir kuno memasuki suatu masyarakat yang telah terbiasa dengan kekunoan Yunani dan Romawi. Invasi militer serupa yang dilakukan Napoleon akhirnya memberikan petunjuk literal terhadap masa lalu bangsa Mesir, ketika salah satu teknisinya menemukan Batu Rosetta dan kemudian mengungkap kemungkinan bahwa batu tersebut berguna untuk menerjemahkan tulisan hieroglif.

Sebagian besar pengetahuan kita tentang urutan matematika Mesir berasal dari dua papyrus yang berukuran cukup besar, yang masing-masingnya dinamai dengan para pemilik dua papirus itu sebelumnya-Papirus Rhind dan Papirus Golenischev (Papirus Moskow).

Kunci Menuju Penguraian: Batu Rosetta
Penerjemahan Papirus Rhind baru memungkinkan untuk dilakukan secara cepat karena pengetahuan yang diperoleh dari Batu Rosetta. Penemuan lemping basal hitam mengkilap ini adalah kejadian yang paling signifikan dari ekspedisi Napoleon. Batu Rosetta tersusun atas tiga panel, yang masing-masingnya ditulis dalam tiga jenis tulisan berbeda: huruf Yunani pada bagian ketiga (paling bawah), naskah demotik bertuliskan huruf Mesir (bentuk pengembangan huruf hieratic) pada bagian tengah, dan huruf hieroglif kuno pada bagian paling atas yang agak rusak.

Pentingnya Batu Rosetta segera disadari orang-orang Perancis, terutama Napoleon, yang memerintahkan naskah itu diperbanyak dengan salinan-salinan cetak tinta dan dibagikan kepada para ilmuwan di Eropa. Ketertarikan publik sangat tinggi sehingga ketika Napoleon dipaksa untuk melepaskan Mesir pada tahun 1801, salah satu artikel dari pakta penyerahan mencantumkan penyerahan batu tersebut kepada Inggris.

Dari waktu ke waktu huruf-huruf hieroglif berkembang dari satu sistem gambar-gambar dari kata-kata lengkap menjadi sistem yang meliputi lambang-lambang alfabet sekaligus simbol-simbol fonetik.


Aritmetika Mesir Kuno
Perkalian Awal Bangsa Mesir
Papirus Rhind diawali dengan premis yang tegas. Isinya berkaitan dengan “sebuah studi yang cermat tentang segala hal, memahami semua hal yang ada, pengetahuan dari semua rahasia yang menghalangi.” Hal ini segera akan menjadi jelas bahwa kita berhubungan dengan sebuah buku pegangan praktis latihan-latihan matematis, dan satu-satunya “rahasia” adalah bagaimana cara mengalikan dan membagi. Meski demikian, 85 permasalahan yang terdapat di dalamnya memberikan gagasan yang cukup jelas bagi kita tentang cirri khas matematika Mesir.

Matematika Mesir pada dasarnya “bersifat penjumlahan”, artinya bahwa kecenderungan matematikanya adalah menurunkan perkalian dan pembagian menjadi penjumlahan berulang. Perkalian dari dua bilangan dapat diselesaikan dengan cara menggandakan secara berturutan salah satu dari bilangan tersebut dan kemudian menambahkan pengulangan yang sesuai untuk memperoleh hasilkalinya. Untuk mencari hasil kali 19 dan 71, misalnya, kita asumsikan multiplikan (bilangan yang akan dikalikan) adalah 71, dengan cara menggandakan bilangan itu (mengalikannya dengan dua) diperoleh:

1 71
2 142
4 284
8 568
16 1136

Kita berhenti menggandakannya sampai sini, karena jika langkah tersebut dilanjutkan maka pengali yang muncul selanjutnya untuk 71 akan lebih besar dari 19. Karena 19 = 1 + 2 +16, kita dapat tulis tanda ‘cek’ di kiri pengali-pengali ini untuk menunjukkan bahwa pengali-pengali itu harus dijumlahkan. Persoalan 19 kali 71 tersebut akan tampak seperti ini.
√ 1 71
√ 2 142
4 284
8 568
√ 16 1136
Jumlah 19 1349

Dengan menambahkan bilangan-bilangan tersebut pada kolom bagian kanan yang berseberangan dengan tanda cek, matematikawan Mesir akan memperoleh hasil yang dibutuhkan, 1349; yang jika diuraikan akan tampak seperti berikut ini,
1349 = 71 + 142 + 1136 = (1 + 2 + 16)71= 19. 71


Empat Permasalahan dalam Papirus Rhind

Metode posisi palsu, atau asumsi palsu, digunakan untuk mengasumsikan nilai mana pun yang memudahkan untuk kuantitas yang diinginkan, dan dengan cara melakukan operasi-operasi permasalahan yang sedang dibahas, untuk menghitung suatu bilangan yang selanjutnya dapat diperbandingkan dengan bilangan yang diketahui. Jawaban yang benar memiliki relasi yang sama ke jawaban yang diasumsikan sebagaimana relasi yang dimiliki bilangan yang diketahui ke bilangan yang sedang dihitung itu.

Naskah-naskah matematika Mesir Kuno pada umumnya hanyalah kumpulan permasalahan praktis dari persoalan-persoalan yang terkait perdagangan dan transaksi administratif. Pengajaran seni perhitungan muncul sebagai unsur utamanya. Segala sesuatu dinyatakan dalam istilah-istilah bilangan khusus, dan tidak terdapat jejak dari apa pun yang pantas disebut sebagai teorema atau aturan umum dari suatu prosedur.

Peradaban Mesir Kuno hanya menggunakan pecahan-pecahan yang berpembilang satu, sehingga perhitungan-perhitungan yang paling sederhana sekalipun menjadi lamban dan sulit dilakukan. Ini telah menjadi penghambat bagi prosedur-prosedur numerik mereka.


Matematika pada Awal Peradaban Manusia II
Geometri Bangsa Mesir Kuno
Bangsa Mesir Kuno menggali fakta-fakta berguna tentang pengukuran tanpa perlu membuktikan fakta-fakta semacam itu dengan proses penalaran deduktif. Beberapa dari rumus yang mereka miliki hanya mendekati benar, tetapi rumus-rumus itu memberikan hasil-hasil yang cukup dapat diterima untuk kebutuhan-kebutuhan praktis dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Bangsa Mesir Kuno menggunakan rumus A = 1/4 (a+c)(b+d) untuk menghitung luas dari berbagai bangun segiempat. Rumus ini jelas tidak benar karena ia baru memberikan jawaban yang cukup benar hanya jika bangun yang diukur kurang lebih menyerupai persegi panjang.
Penulis Papirus Rhind menggunakan rumus A = (d- d/9)^2= (8d/9)^2untuk menghitung luas dari berbagai bangun segiempat. Rumus ini jelas tidak benar karena ia baru memberikan jawaban yang cukup benar hanya jika bangun yang diukur kurang lebih menyerupai persegi panjang.

Penulis Papirus Rhind menggunakan rumus A = (d-d/9)^2=(8d/9)^2untuk menghitung luas lingkaran. Nilai ini menghasilkan nilai π= 4 (8/9)^2=3,1605, yang menfekati nilai 31/7. Rumus tersebut barangkali diperoleh dari penggunaan oktagon sebagai aproksimasi awal terhadap luas lingkaran yang terdapat dalam persegi.

Bangsa Mesir Kuno telah mengenal rumus volume piramida pancung persegi (frustum), dalam notasi modern, sebagai: V=h/3 (a^2+ab+b^2 ). Mereka pun telah dapat menghitung volume dari piramida persegi yang utuh, yaitu dengan rumus V=h/3 a^2.


Matematika Babilonia
Meski tidak satu pun teks dalam tablet-tablet Babilonia menunjukkan aturan-aturan umum, tetapi konsistensi dalam bagaimana permasalahan-permasalahan di sana diselesaikan menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang Babilonia telah memiliki sejenis pendekatan teoritis terhadap matematika. Permasalahan-permasalahan itu sering kali tampak seperti latihan-latihan pikiran, ketimbang hanya berupa risalah penyurveian atau catatan transaksi perdagangan, dan permasalahan-permasalahan tersebut mengisyaratkan suatu ketertarikan abstrak terhadap relasi-relasi numerik.

Instruksi-instruksi Babilonia menuju kepada penggunaan  suatu rumus yang ekuivalen dengan aturan yang kita kenal
√((a/2)^2+b)-a/2
untuk menyelesaikan persamaan kuadrat x^2+ax=b.

Permasalahan baku Babilonia pada umumnya menjaga kondisi xy = b agar selalu tetap tetapi meragamkan persamaan kedua untuk tiba pada lambang-lambang lebih rumit dalam x dan y.
Bangsa Babilonia mengetahui persamaan-persamaan kuadrat berbentuk x^2+ax=b dan x^2=ax+b, berikut solusi-solusinya. Akar kuadrat negatif, yang akan menghasilkan nilai negatif untuk penyelesaian x, selalu mereka abaikan. Persamaan kuadrat x^2+b=ax tampaknya telah dikenal oleh mereka, tetapi ditranformasikan ke sistem x + y = a, xy = b.

Plimpton 322
Plimpton 322 adalah tablet Babilonia yang terdaftar bernomor catalog 322 dalam koleksi G. A. Plimpton di Universitas Columbia. Ia berhasil diuraikan oleh Neugebauer dan Sachs pada tahun 1945. Tablet ini ditulis dalam tulisan Babilonia Lama, yang bertanggal antara 1900 S.M. dan 1600 S.M. Analisis dari kumpulan daftar angka-angka ini mengukuhkan bahwa apa yang disebut teorema Phytagoras ternyata telah diketahui oleh para matematikawan Babilonia lebih dari seribu tahun sebelum Phytagoras lahir. Bilangan-bilangan pada kolom-kolom daftar itu membentuk kaki dan hipotenusa dari sebuah segitiga siku-siku yang bersisi integral.
Naskah yang disebut sebagai Papirus Matematika Kairo, berhasil digali pada tahun 1938 dan pertama kali dikaji pada 1962, menetapkan secara meyakinkan bahwa bangsa Mesir pada 300 S.M. tidak hanya paham bahwa segitiga (3, 4, 5) adalah segitiga siku-siku, tetapi juga bahwa segitiga-segitiga (5, 12, 13) dan (20, 21, 29) memiliki sifat ini.

No comments:

Post a Comment