Selama ini banyak siswa yang mungkin
mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi yang diterimanya,
tetapi pada kenyataannya sering kali tidak memahami atau mengerti secara
mendalam materi yang dipelajari, akibatnya mereka tidak mampu menghubungkan apa
yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Dewey (Toharudin: 2005) bahwa
“Siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa
yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di
sekelilingnya”.
Pendekatan kontekstual merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata yang mendorong siswa memperoleh hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota masyarakat. Dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual siswa
perlu tahu apa makna belajar, apa manfaatnya dalam status apa mereka dan
bagaimana mencapainya.
Dengan begitu siswa memposisikan
sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk kehidupan nanti. Mereka
akan mempelajari apa yang bermanfaat baginya berupaya menggapainya.
Penerapan kontekstual dalam pengajaran
di kelas tidaklah tertalu sulit, secara garis besarnya mengikuti tujuh komponen
sebagai berikut:
a) Kontruktivisme (Contructivisme)
Kontruktivisme (membangun) merupakan landasan
berfikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit. Dalam langkah kontruktivisme ini yakni
mengembangkan pemikiran siswa tentang
belajar bermakna, dengan cara belajar sendiri
paling tidak siswa dapat mengembangkan materi pelajaran lebih lanjut. Mengkaji
persoalan-persoalan yang bertautan dengan materi yang diperoleh dan
mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b) Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian initi dari kegiatan
pembelajaran berbasis CTL (Contekstual
Teaching and learning). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa
diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dengan
menemukan sendiri. Dalam langkah ini melaksanakan sejauh mungkin kegiatan
inquiry.
c) Bertanya (Questioning)
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai
kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir
siswa. Untuk itu guru harus mengembangkan sifat ingin tahu siswa untuk selalu
ingin bertanya.
d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep Learning
Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama
dengan orang lain. Untuk itu diciptakan kegiatan belajar kelompok atau belajar
bersama.
e) Pemodelan (Modeling)
Guru memberi model tentang bagaimana cara belajar.
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang
bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoprasikan sesuatu. Dalam
pembelajaran matematika menggunakan model untuk memperjelas konsep-konsep
matematika.
f) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang
baru dipelajari untuk berfikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan
dimasa lalu. Dalam penerapannya refleksi dilakukan pada akhir pertemuan.
g) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment
adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memebrikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Kemajuan belajar siswa dinilai dari proses, bukan hanya hasil penilaian yang
sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pendekatan kontekstual dalam
pelaksanaannya di arahkan pada keadaan konteks siswa, misalnya pada fase awal
pembelajaran. Sebelum guru menyampaikan tujuan pembelajaran siswa dimotivasi
dengan cerita-cerita dan penampilan fenomena sehari-hari dengan materi yang
disampaikan.
Pada fase kedua demontrasi dilakukan
dengan menggunakan alat-alat dalam kelompok-kelompok agar mereka bisa saling
bekerjasama dan bertanya sesama anggota kelompoknya. Apabila ada hal yang belum
dimengerti sebelumnya ditanyakan pada guru.
No comments:
Post a Comment